Mengenal Lebih Dekat Reaktor Daya Eksperimental, Reaktor Nuklir Desain Anak Negeri (Review)
Mc. Anis
Walau litbang iptek nuklir telah dilakukan sejak hampir 60 tahun yang lalu, tetapi negeri ini belum juga masuk ke era nuklir. Belum ada satupun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang beroperasi di negeri ini. Penerimaan publik terhadap nuklir yang masih kurang dan permainan politik tidak sehat menghambat penerapan moda energi paling murah, bersih, selamat, reliabel dan sustainabel ini [1].
Rencana pembangunan PLTN sebenarnya sudah dimunculkan beberapa kali. Misalnya di Semenanjung Muria. Tetapi gagal karena terjadi penolakan warga setempat. Kajian kelayakan teknologi PLTN Korea Selatan juga pernah dilakukan [2], tetapi tidak ada langkah konkrit untuk diterapkan dan akhirnya menghilang. Masih banyaknya mitos-mitos yang beredar tentang nuklir dan kurangnya kepercayaan akan disiplin kerja anak negeri menjadi hambatan lain.
Karena kesulitan-kesulitan tersebut, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) pada tahun 2014 memutuskan untuk membuat program Reaktor Daya Eksperimental (RDE). Tujuannya adalah sebagai demonstrasi purwarupa teknologi reaktor daya nuklir. Bahwa anak negeri bisa membangun dan mengoperasikan reaktor daya nuklir dengan aman dan selamat. Dengan adanya reaktor daya sungguhan, keahlian SDM lokal dalam proses desain, pembangunan, operasi dan perawatan reaktor daya nuklir pun bisa dibangun lebih baik [3].
Seperti apa bentuk Reaktor Daya Eksperimental (RDE) tersebut?
RDE menggunakan teknologi reaktor nuklir yang maju alih-alih teknologi reaktor nuklir kontemporer. Mengingat era reaktor nuklir sekarang menuju Generasi IV, wajar jika reaktor maju menjadi prioritas. Lebih banyak keunggulan yang bisa didapat dengan langsung lompat pada Generasi IV alih-alih berkutat pada Generasi III.
Teknologi yang dipakai dalam RDE adalah high-temperature gas-cooled reactor (HTGR) [4]. Reaktor nuklir ini menggunakan bahan bakar dalam bentuk TRISO (tri-isotropic) yang dibungkus dalam bola-bola grafit (pebble bed). bola grafit ini sekaligus berperan sebagai moderator netron. Teras reaktor terdiri dari blok-blok grafit yang berfungsi sebagai struktur reaktor sekaligus reflektor netron. Sebagai pendingin, alih-alih air, fluida yang digunakan dalam HTGR adalah gas helium [5,6].
Walau tetap berkonsultasi dengan asing dalam beberapa aspek, tetapi desain inti dan sebagian besar komponen dan sistem reaktor didesain oleh tenaga lokal, para peneliti dan teknisi BATAN bekerjasama dengan industri lokal dan universitas dalam negeri [13]. Jadi, cukup adil jika dikatakan bahwa RDE merupakan hasil karya anak negeri. Kemampuan mendesain sendiri teknologi reaktor maju adalah prestasi besar, karena tidak semua negara mampu melakukannya. Dengan ini, harapannya Indonesia akan mampu menjadi technology provider bagi reaktor daya nuklir [11]. jadi bukan sebatas konsumen belaka.
By R. Andika Putra Dwijayanto
Rencana pembangunan PLTN sebenarnya sudah dimunculkan beberapa kali. Misalnya di Semenanjung Muria. Tetapi gagal karena terjadi penolakan warga setempat. Kajian kelayakan teknologi PLTN Korea Selatan juga pernah dilakukan [2], tetapi tidak ada langkah konkrit untuk diterapkan dan akhirnya menghilang. Masih banyaknya mitos-mitos yang beredar tentang nuklir dan kurangnya kepercayaan akan disiplin kerja anak negeri menjadi hambatan lain.
Karena kesulitan-kesulitan tersebut, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) pada tahun 2014 memutuskan untuk membuat program Reaktor Daya Eksperimental (RDE). Tujuannya adalah sebagai demonstrasi purwarupa teknologi reaktor daya nuklir. Bahwa anak negeri bisa membangun dan mengoperasikan reaktor daya nuklir dengan aman dan selamat. Dengan adanya reaktor daya sungguhan, keahlian SDM lokal dalam proses desain, pembangunan, operasi dan perawatan reaktor daya nuklir pun bisa dibangun lebih baik [3].
Seperti apa bentuk Reaktor Daya Eksperimental (RDE) tersebut?
RDE menggunakan teknologi reaktor nuklir yang maju alih-alih teknologi reaktor nuklir kontemporer. Mengingat era reaktor nuklir sekarang menuju Generasi IV, wajar jika reaktor maju menjadi prioritas. Lebih banyak keunggulan yang bisa didapat dengan langsung lompat pada Generasi IV alih-alih berkutat pada Generasi III.
Teknologi yang dipakai dalam RDE adalah high-temperature gas-cooled reactor (HTGR) [4]. Reaktor nuklir ini menggunakan bahan bakar dalam bentuk TRISO (tri-isotropic) yang dibungkus dalam bola-bola grafit (pebble bed). bola grafit ini sekaligus berperan sebagai moderator netron. Teras reaktor terdiri dari blok-blok grafit yang berfungsi sebagai struktur reaktor sekaligus reflektor netron. Sebagai pendingin, alih-alih air, fluida yang digunakan dalam HTGR adalah gas helium [5,6].
Desain HTGR secara alamiah menjadikan tingkat keselamatannya jauh lebih unggul dari reaktor nuklir konvensional. Keramik bahan bakar, lapisan TRISO dan bola grafit memiliki titik leleh yang sangat tinggi, lebih dari 1.800°C. Suhu operasi nominal HTGR RDE adalah 700°C. Jadi, ada margin suhu minimal 1.100°C agar terjadi pelelehan bahan bakar. Kenaikan suhu setinggi itu bisa dikatakan mustahil terjadi pada berbagai skenario kecelakaan HTGR. Sehingga, tidak ada risiko pelelehan pada HTGR. RDE bersifat meltdown-proof [5].
Sistem keselamatan RDE bersifat pasif. Dengan kata lain, tidak dibutuhkan intervensi operator ketika terjadi masalah pada operasi reaktor [6]. HTGR memiliki reaktivitas suhu negatif. Sehingga, ketika terjadi kenaikan suhu tiba-tiba, reaksi fisi berantai akan turun dengan segera, menyebabkan reaktor nuklir kembali pada suhunya semula [7].
HTGR RDE merupakan reaktor dengan densitas daya rendah. Kompensasinya, teras reaktor jadi berukuran besar untuk daya yang lebih kecil. Namun, densitas daya rendah ini sangat mendukung sistem pendinginan pasif. Ketika reaktor kehilangan daya sama sekali (blackout), pendinginan reaktor dapat berlangsung secara alami, menggunakan sirkulasi alam [8]. Tidak perlu pompa pendingin eksternal untuk mendinginkan reaktor.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, HTGR RDE beroperasi dengan suhu mencapai 700°C. Ini lebih tinggi daripada suhu operasi reaktor konvensional yang hanya berkisar 320°C. Efeknya, efisiensi termal lebih tinggi. Selain itu, kegunaannya jadi lebih banyak. Energi termal yang dibangkitkan HTGR RDE dapat digunakan untuk proses industri seperti desalinasi air, enhanced oil recovery, hingga produksi hidrogen dari radiolisis air [9]. Nilai guna reaktor jadi lebih tinggi.
Karena bersifat eksperimental, RDE direncanakan memiliki daya rendah, yakni 10 MWt. Daya ini setara dengan 3 MWe. Mengasumsikan faktor kapasitas RDE 80% dan rerata konsumsi listrik 956 kWh/kapita, maka listrik dari RDE cukup untuk kebutuhan listrik lebih dari 21 ribu orang.
Belum diketakui pasti berapa biaya pembangunannya. Namun, estimasi awal, proyek RDE membutuhkan dana hingga Rp 2,2 Trilyun [10]. Memang mahal, tetapi agak bisa dipahami. Mengingat, fasilitas RDE adalah fasilitas eksperimental dan merupakan first-of-a-kind. Berdasarkan konsep learning curve, biaya dapat ditekan pada pembangunan unit-unit berikutnya, selama pembangunan dilaksanakan secara konsisten dan kontinu.
Jika program RDE berhasil, maka teknologinya dapat di-scale up menjadi skala komersial. HTGR scale-up ini bisa digunakan di daerah-daerah luar Jawa yang membutuhkan daya listrik hingga 100 MWe [11]. Energi termal suhu tinggi yang dibangkitkannya juga akan sangat berguna untuk keperluan proses termal industri di sekitar lokasi PLTN.
Saat ini, RDE sudah masuk ke tahap detailed engineering design (DED). Basic Engineering Design (BED) sendiri telah diselesaikan pada tahun 2017. Diharapkan bahwa DED RDE dapat dirampungkan tahun ini [12]. Selesainya DED RDE berarti satu langkah lebih dekat pada tahap konstruksi.
BATAN sudah mengantongi izin tapak untuk membangun RDE di Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan. Mengasumsikan prosesnya lancar, maka tahun 2019 akan mulai pembangunan dan komisioning pada tahun 2022 [10]. Saat RDE beroperasi secara sukses, pada saat itulah anak negeri membuktikan kapabilitasnya dalam penguasaan teknologi energi nuklir, tidak kalah dari negara Barat.
Referensi
- R. Andika Putra Dwijayanto. 2016. Kenapa Energi Nuklir? Yogyakarta.
- World Nuclear Association. Nuclear Power In Indonesia. (http://www.world-nuclear.org/information-library/country-profiles/countries-g-n/indonesia.aspx). Diakses pada 11 April 2018.
- Badan Tenaga Nuklir Nasional. Rencana Pembangunan RDE Di Indonesia. (http://www.batan.go.id/index.php/id/rencana-pembangunan-rde-di-indonesia). Diakses pada 11 April 2018.
- Badan Tenaga Nuklir Nasional. Pilihan Teknologi RDE. (http://www.batan.go.id/index.php/id/pilihan-teknologi-rde). Diakses pada 11 April 2018.
- Jacopo Buongiorno. 2010. Heavy Water, Gas and Liquid Metal Cooled Reactors. Massachusetts: Center for Advanced Nuclear Energy Systems.
- World Nuclear Association. Generation IV Nuclear Reactors. (http://www.world-nuclear.org/information-library/nuclear-fuel-cycle/nuclear-power-reactors/generation-iv-nuclear-reactors.aspx). Diakses pada 11 April 2018.
- Slamet Parmanto et al. 2011. Studi Desain Down Scale Teras Reaktor dan Bahan Bakar PLTN Jenis Pebble Bed Modular Reactor – HTR 100 MWe. Jurnal Teknologi Reaktor Nuklir 13:194-205.
- Agus Cahyono et al. 2016. Desain Pengendalian Sistem Pengambilan Panas Reaktor Daya Eksperimental. Jurnal Perangkat Nuklir 10:80-89.
- World Nuclear Association. Nuclear Process Heat for Industry. (http://www.world-nuclear.org/information-library/non-power-nuclear-applications/industry/nuclear-process-heat-for-industry.aspx). Diakses 11 April 2018.
- Batan kantongi izin tapak reaktor daya eksperimental. (https://www.antaranews.com/berita/611121/batan-kantongi-izin-tapak-reaktor-daya-eksperimental), diakses 11 April 2018.
- Batan Bikin Desain Reaktor Buatan Lokal. (https://www.viva.co.id/digital/961574-batan-bikin-desain-reaktor-buatan-lokal), diakses 10 April 2018
- Progress with Indonesian SMR (http://www.world-nuclear-news.org/NN-Progress-in-Indonesian-SMR-project-1603184.html), diakses 10 April 2018.
- Desain Reaktor Baru Batan Karya Anak Bangsa Diluncurkan. (https://tekno.tempo.co/read/1020582/desain-reaktor-baru-batan-karya-anak-bangsa-diluncurkan), diakses 10 April 2018.
By R. Andika Putra Dwijayanto
Labels: Pembangkit, Reaktor, Tenaga Nukler